Cerita Keajaiban Sedekah

Cerita Keajaiban Sedekah


Dua minggu yang lalu, saya kembali mengunjungi adik saya di kosannya. Sebenarnya tak ada yang begitu mengesankan dari perjalanan ke sana melainkan hal yang biasa-biasa saja seperti jalan-jalan, beli ini beli itu, cuci mata di tempat-tempat belanja, dan lain sebagainya. Hingga sebuah kejadian yang membuat saya merenung pun tiba.
Sudah menjadi rahasia umum jika Palembang adalah kota dengan tingkat kejahatan yang tinggi. Copet, jambret, berkeliaran dimana-mana seolah telah menjadi pemandangan biasa.

Suatu ketika, saya dan adik saya menunggu di sebuaha halte khusus transmusi. Transmusi merupakan angkutan pemerintah daerah yang dikelola oleh dinas terkait dan menjadi alternatif bagi masyarakat untuk berpergiaan di dalam kota. Beberapa bus kota juga masih beroperasi. Jadi jika tidak ingin naik transmusi, bisa naik bus kota saja, demikian pula sebaliknya.

Beberapa saat menanti, ternyata bus transmusi yang ditunggu-tunggu belum tiba juga. Sembari menunggu, saya ngobrol-ngobrol dengan adik saya. Di tengah perbincangan kami, seorang wanita paruh baya mendatangi kami berdua. Ia menengadahkan tangan meminta uang. Saya yang menganggap hal itu biasa saja tanpa pikir panjang menyerahkan uang seribu rupiah kepadanya. Setelah mengucapkan terima kasih, ibu itu pun berlalu. Saya kembali melanjutkan obrolan dengan adik saya.

Bosan karena bus yang ditunggu tak kunjung datang, akhirnya adik saya menyarankan bagaimana jika naik bus kota saja. Sudah ada lima bus kota yang lewat sejak awal kami menunggu. Dan jika kami memutuskan untuk naik kendaraan tersebut dari awal, tentu saat itu kami sudah sampai di tempat tujuan.

Seorang kenek bus kota yang baru datang melambai-lambaikan tangannya ke arah kami. Adik saya melirik ke arah saya. Transmusi yang ditunggu-tunggu belum juga memperlihatkan batang hidungnya. Kami berdua saling berpandangan dan akhirnya melangkahkan kaki menuju bus itu.

Di antara sekian deretan tempat duduk di dalam bus, saya lebih menyenangi tempat duduk yang dekat dengan pintu masuk. Saya paling gampang mual saat naik kendaraan, terutama ketika mencium bau khas mesin yang bercampur asap rokok. Bangku di dekat pintu masuk adalah yang paling dekat dengan udara segar.

Bus sudah berisi cukup banyak penumpang. Masih tersisa beberapa bangku kosong di tengah dan di bagian belakang. Saya memilih duduk di bagian belakang bersama adik saya karena lebih dekat dengan pintu. Di ujung-ujung deretan bangku paling akhir tersebut telah duduk dua orang pria muda. Saya dan adik saya duduk di tengah-tengah mereka. Yang duduk di samping saya tampilannya seperti mahasiswa. Sementara di sebelah adik saya duduk seorang pria dengan kemeja oranye dan celana jins biru.

Beberapa ibu kerap kali menoleh ke arah belakang. Saya tak begitu menghiraukannya. Saat sang kenek mulai menagih ongkos, saya langsung mengeluarkan dompet. Seorang pria di samping saya melirik dompet yang saya pegang. Saat itu uang pegangan saya sekitar enam ratus ribu. Bukan jumlah yang terlalu banyak. Hanya saja uang dan handphone yang memang berada di dalam dompet saat itu tak nampak. Yang nampak hanyalah beberapa lembar uang kecil dan pecahan dua puluh ribuan.

Ongkos saya serahkan kepada sang kenek. sambil memeriksa uang yang saya berikan padanya, ia kembali berujar “Seribu lagi, Mbak.” Saya tak punya lagi pecahan uang seribu. Adik saya kemudian membuka dompetnya dan menyerahkan uang seribu rupiah kepada si kenek. Saat adik saya membuka dompetnya, ternyata uang yang ia bawa juga tak banyak. Handphone-nya pun tak ia keluarkan. Begitu pula dengan perhiasan yang ia biasa kenakan juga tertutupi oleh lengan bajunya yang panjang.

Tak ada rasa curiga di hati saya kepada orang-orang di dekat kami. Hingga akhirnya bus berhenti lagi untuk menarik penumpang. Seorang laki-laki berkemeja oranye langsung menyuruh kami berdua pindah ke bangku yang masih kosong di bagian depan ketika penumpang baru hendak masuk. “Bapak saya mau duduk, mbak-mbak pindah ke depan saja,” begitu ucapnya.

Saya sempat heran. Bapaknya siapa? Saat itu ada seorang pria berusia 30-an yang hendak masuk sambil membawa sebuah kotak kardus besar. Di belakangnya mengekor tiga orang pria lagi yang sudah cukup berumur. Salah seorang diantaranya bertubuh tambun. Mereka tampak buru-buru. Pria tadi duduk di bangku yang sebelumnya diduduki oleh adik saya. Keributan kecil karena tempat duduk yang terasa sempit sempat terjadi di bangku belakang. Saya beberapa kali menoleh namun sepertinya semua orang yang ada di dalam bus tak mendengarnya. Atau memang pura-pura tidak mendengar, saya tak tahu. Sang kenek yang masih remaja pun tampak tak berbuat apa-apa. Tak berapa lama kemudian, rombongan pria yang tadi duduk di belakang turun bersamaan, termasuk pria bergaya mahasiswa dan yang berbaju oranye. Bangku belakang hanya menyisakan pria yang membawa kardus besar seorang diri. Lalu sang pria itu pun pindah duduk ke depan. Seorang laki-laki tanggung yang duduk di samping saya mengingatkan bahwa gerombolan yang baru turun barusan adalah sindikat copet. Saya menelan ludah. Sindikat? Canggih amat! “Kalau perempuan, sebaiknya jangan duduk di belakang”. Saya tertegun, tubuh saya melemas. Pria berkardus besar tadi memeriksa dirinya sendiri dan mengatakan bahwa emas miliknya hilang. Astaghfirullah, malang sekali nasibnya.

Kasak-kusuk di dalam bus pun terjadi. Ibu-ibu yang sedari tadi menoleh-noleh ke belakang kemudian memperingatkan kami untuk berhati-hati. Nasihatnya sama, kalau perempuan, jangan duduk di bangku paling belakang!

Akhirnya saya tiba di tempat yang saya tuju. Sebelum melanjutkan kegiatan jalan-jalan, saya dan adik saya memutuskan untuk makan terlebih dahulu. Sedari pagi kami berdua memang belum sarapan. Lutut saya masih pun gemetaran karena kejadian tadi. Di sela-sela makannya, adik saya mengatakan bahwa dua orang pria yang tadi duduk di samping kami berdua sebelumnya tidak duduk di sana. Ia langsung pindah ke belakang saat tahu kami akan naik bus. Sementara saya sendiri tak memperhatikan hal itu. “Jadi sebenarnya, target utamanya adalah kita. Saat muncul target baru, yaitu bapak yang membawa kardus tadi, kita diminta pindah ke depan,” celotehnya. Olala…

“Apa mungkin ini pertolongan Allah karena tadi kita menolong ibu yang meminta-minta di halte?” Tanyanya lagi. Saya kembali mengingat-ingat. Jika memang benar demikian, beruntungnya kami. Yang saya tak habis pikir jika itu benar adanya adalah hanya seribu rupiah dan itu menyelamatkan kami? Entahlah. Wallahu’alam. Saya hanya bisa bersyukur karena kami masih baik-baik saja.

Artikel Terkait

Share on :

{ 1 komentar... Views All / Post Comment! }

Tongkat Gurah V mengatakan...

Ini sangat bagus ...brow

Posting Komentar

 

Cerita Keajaiban Sedekah